Si Merah Di Pelupuk Jalan Soekarno Hatta


Hiruk pikuk jalanan dengan segala macam keluh kesah dan lika liku kehidupan, hidup dengan segala persetanannya. Sore itu, angin bertiup kencang, daun-daun berguguran disambut oleh senja yang akan datang. Aku melesat jauh membelah jalanan menaiki sepeda motor, melewati jalan Soekarta Hatta jalan kesayangan. Lagi-lagi aku sendiri, hanya ditemani oleh beragam suasana langit yang kadang kala matahari bersinar terang, kadang bersembunyi di balik awan, sesekali diguyur hujan dan bahkan berkawan dengan angin sejuk yang memanjakan. Tapi jangan lupakan juga akan kemacetan apalagi ditambah dengan lampu merah yang tak kunjung padam.

Bosan rasanya melewati hidup yang terus monoton berputar berulang-ulang, tanpa ada tujuan, kepastian dan keyakinan. Kiranya semua hanya benang kusut yang membumi di kepala. Tak ada kesenangan atau candaan yang dapat menghibur sang kelabu malam.

“Sial, lagi-lagi si merah ini yang kutemui di jalan.” Gerutuku yang sudah melewati lebih dari empat kali lampu rambu-rambu jalan.

Lampu merah menunjukkan waktu 200 detik penantian menunggu untuk si hijau datang. Hari itu aku sudah menyelesaikan UAS dan keluar dari kampus hijau kebanggaan menuju perjalanan pulang, melewati jalan Cibiru menuju Soreang. Dengan piawai, aku menyalip semua mobil, truk, dan bus yang sudah terhenti oleh lampu jalan, berharap aku akan ada di barisan paling depan untuk berbaris menunggu si merah ini berubah menjadi hijau.

“Huhh, akhirnya sampai juga di barisan paling depan,” ucapku lega sembari merintang penat.

Sejenak aku mengedarkan pandangan, melihat satu persatu pengendara motor yang ada di depanku. Tiba-tiba seseorang dengan motor NMAX merah dengan helm custom model Simpson yang tidak ada visornya berhenti di sampingku, aku meliriknya perlahan, ada yang janggal di sini. Mata itu...ya mata itu...aku kira aku mengenalnya, sudah tidak asing lagi.

“Punten A,” sapaku padanya dengan logat Sunda yang khas.

“Iyaa,” jawabnya singkat. Merasa dirinya terpanggil, dia menoleh kearahku.

DEGH...jantungku berdebar kencang, memompa dengan cepat tak karuan, tersentak oleh objek yang sedang kupandangi saat ini. Mata teduh itu yang sudah lama tak menampakkan kehadirannya, kini beradu kembali.

“Kamu, ini beneran kamu kan?” tanyaku padanya.

“Siapa ya?” dia mengerutkan kening mengingat-ngingat sedang dengan siapa dirinya bicara.

“Ini aku, teman SMP kamu dulu,” ucapku memecah teka-teki bingung di kepalanya.

“Ohhh...kamu,” jawabnya dengan mata membulat dengan diiringi sedikit menganggukkan kepala, kutebak bibirnya pasti ikut membulat, meski tak terlihat karena tertutupi helm.

“Kok ada di sini, habis dari mana emangnya?” tanyanya memulai perbincangan singkat.

“Pulang dari kampus, kamu sendiri habis dari mana?” tanyaku penasaran.

“Dari kampus juga,”

“Sama dong. Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi di sini, setelah dulu enam tahun yang lalu kita pernah sama-sama bareng,” ucapku mengeraskan suara karena kalah berisiknya dengan riuhnya jalanan.

“Iya yah, aku juga gak nyangka, mana ketemunya di lampu merah lagi.” Jawabnya dengan sedikit kekehan.

“Kamu apa kabar? Makin tinggi ya sekarang, dulu perasaan nggak setinggi ini,” tanyaku dengan sedikit candaan.

“Alhamdulilah baik seperti biasanya, hahaa iya dong tinggi, nggak kayak kamu dulu pendek,” ledeknya. Dia masih sama seperti dulu, tukang bully dengan ribuan umpatannya padaku.

“HUUHH...tapikan sekarang aku juga udah tambah tinggi tau,” ucapku tak mau kalah. “Kamu masih aja sama kayak dulu ya, tukang bully, mana masih suka warna merah lagi sampe sekarang.”

“Always dong, merah menyala abangkuhh,” jawabnya bangga. Sudah dipastikan kalau melalui pesan chat pasti memakai emotikon api sekebon.

TITT..TITT...TITT..

Suara klakson motor bersahutan, menyadarkan kami bahwa si merah telah berakhir, memecah perbincangan singkat kita kala itu.

“Eh, duluan yaa..” ucapnya sembari menancapkan gas membawa kencang motornya. Hingga menyisakan punggung lebarnya yang semakin menjauh.

Hari itu, aku sedikit bahagia, kiranya berhenti sejenak karena lampu merah tidak terlalu buruk, karena di sanalah kita bisa bertemu dengan hal-hal di luar dugaan.

Dia melesat jauh, ntah ada hal menarik apa di tempat peraduannya kini, aku hanya setia di belakang melihat kepergiannya, kuatur tarikan gas motorku agar pelan lambat merayap membiarkanmu jauh dan menghilang.

Biarlah, aku harap kita akan bertemu kembali pada tiap-tiap lampu jalan yang sama-sama kita lewati. Aku senang bisa melihatmu kembali, menemukanmu lagi, kali ini mungkin semesta sengaja menampakkan kita berdua pada jalan ini. Tapi jalan ini terlalu rumit untuk dilintasi sendiri, kiranya akan lebih indah jika jalan ini dilewati bersamamu.

Mungkin sekarang langkah kakimu sudah lebih besar, perlu berlari untuk menggapaimu bahkan mungkin tak mampu lagi kukejar. Kamu tau, setiap kali aku melewati jalan ini, aku selalu mencarimu pada sekumpulan manusia yang kiranya itu kamu.

Maaf aku selalu keliru, sudah banyak yang kuduga mirip sepertimu tapi nyatanya itu bukan kamu. Maaf masih selalu cari yang sepertimu pada yang lain, sengaja kutulis ini, sengaja kuceritakan kisah ini. Jika sudah tiba masanya nanti, mari mengukir cerita bersama di jalan Soekarno Hatta, bersamamu kita usahakan untuk tidak menabur kebencian pada lampu jalanan itu.

Komentar